LOMBOK BARAT ,
Judul ini meminjam quote dari pegiat pariwisata hebat milik Nusa Tenggara Barat bernama Taufan Rahmadi. Beliau ini mantan Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya membaca quote ini sebagai caption sebuah foto indah miliknya di akun media sosial miliknya. Foto itumenjabarkan keindahan matahari terbenam (sunset) di Pantai Senggigi. Quotenya, saat itu menjadi salah satu tantangan hebat buat saya dan para sahabat di Dinas Pariwisata Lombok Barat ketika beberapa hari sebelumnya kami mengafirmasi sebuah tagar yang kami gagas bersama salah seorang pegiat lainnya, abang saya Agus Hariyanto. Orang terakhir ini adalah Ketua DPD Asosiasi Experience Learning Indonesia (AELI) NTB.
Tagar itu adalah #AyoKembaliKeSenggigi. Saya dengan sengaja tidak terlalu mengikuti kaidah biasa dalam penulisan hastag atau tagar. Biasanya hastag oleh media sosial selalu dengan huruf kecil semua. Saya lebih memilih berbeda dengan pola penulisan mainstream dengan membuat hastag dengan huruf besar di kata awal. Saya sendiri selalu kurang menyukai hal-hal yang berbau mainstream dan selalu ingin membuat sesuatu secara out of box. Dalam banyak hal, gaya dan pemikiran out of box menurut hemat saya membuat saya merasa lebih nyaman dalam menjalankan ativitas, termasuk bekerja.
Dalam memandang tugas saya hari ini pun, saya tidak mau larut dalam mainstream. Ketika lebih banyak orang larut dalam “kegalauan dan bahkan kegundahan khawatir” atas akibat pandemik Covid 19, kebetulan saya ditugaskan di dunia yang baru buat saya dan sedang terdampak hebat akibat Covid 19, saya lebih memilih “berdamai” dan merumuskan secara awal protokol kesehatan di tempat wisata. Saya tidak memilih menulis buku untuk meningkatkan profil saya secara pribadi, tapi saya memilih yang lebih implementatif dan dapat dipandu secara nyata oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pekerjaan baru saya.
Saya lebih memilih larut dalam melihat dan mendengar keadaan nyata Kawasan Senggigi saat ini dan kondisi pandemik global akibat Covid 19. Saya banyak mendengar, baik dari pelaku travel atau guide, pengusaha transportasi, para generale manajer hotel, pemilik dan pengelola restaurant, atau bahkan para Kepala Dusun di Kawasan Senggigi.”Senggigi ini mau mati”. “Senggigi mati suri”, dan seterusnya.
Sesungguhnya banyak variabel mengapa Senggigi seperti saat ini. Ada variabel yang muncul akibat pola pembangunan kepariwisataan kita yang kerap tidak berkelanjutan, baik oleh pemerintah maupun investor. Ada pula variabel dari image pelaku yang menginteraksikan antara kondisi antar destinasi.
Kondisi kepariwisataan nasional sudah sangat berkembang. Banyak daerah selain NTB telah begitu berbenah, lebih terpromosikan, lebih menjanjikan sebagai pemuas para wisatawan. Akhirnya Senggigi saat ini bukan lagi menjadi alternatif tunggal pasca Pulau Bali. Saya bisa menyebutkan Wakatobi dan Raja Ampat di wilayah Timur Indonesia seiring menggeliatnya kepariwisataan Labuan Bajo di NTT. Banyuwangi yang menjelma menjadi destinasi favorit selain berkembangnya industri rekreasi di Kota Batu Jawa Timur. Atau luar biasanya perkembangan DI Jogjakarta dengan industri rekreasi, desa wisata, maupun wisata kulturalnya yang masih menjadi magnet wisatawan, terutama domestik. Jangan tanya pula tentang geliat tempat-tempat wisata konvensional Indonesia seperti Puncak Bogor, Danau Toba, Tana Toraja, bahkan Pulau Bali sendiri. Itulah kondisi perkembangan kepariwisataan secara nasional. Saya menyebut hampir semua destinasi skala nasional. Padahal menempatkan Senggigi berdampingan dengan aneka destinasi tersebut mungkin adalah sekedar romantika masa lalu di era 90-an awal di mana Senggigi masih menjadi favorit yang terselip di antara daftar tempat wisata yang layak dikunjungi.
Bagaimana dengan kawasan Lombok-Sumbawa? Barangkali peralihan atensi dan animo para wisatawan atau pelaku pariwisata juga mempengaruhi kondisi di Senggigi. Berkembangnya Tiga Gili di KLU, terkini berkembangnya minat ke kawasan Sembalun, serta atensi penuh pemerintah/ pelaku/ industri/ bahkan media terhadap Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika yang akan menjadi tuan rumah MotoGP 2021, telah banyak mendegradasikan image dan kunjungan wisatawan tentang Senggigi. Saat ini barangkali tidak berlebihan jika banyak pelaku menyebut Senggigi hanya menjadi perlintasan ke tiga Gili (Trawangan-Meno-Air) milik Kabupaten Lombok Utara. Walau belum apa-apa, Senggigi bahkan disebut sudah menjadi bayang-bayang kedigdayaan industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Kuta Lombok Tengah. Yang terakhir ini sungguh lucu, belum apa-apa sudah dibayang-bayangi oleh ketakutan oleh pikiran yang seakan-akan telah menjadi opini publik.
Benar Senggigi mengenaskan. Barangkali, di hampir sebagian besar destinasi di Lombok Sumbawa, maka Senggigi-lah yang kemudian dianggap telah sangat ”terpuruk”. Kenyataannya Senggigi telah lama ditinggalkan oleh para investornya (saya lebih suka menyebutnya sebagai spekulan tanah). Senggigi akhirnya banyak meninggalkan bangkai beton bangunan, baik berupa bangunan hotel yang tidak tuntas bangun, hotel atau ruko yang tutup serta rimbunan semak belukar yang hanya menjadi rumah bagi ular atau binatang lainnya. Bahkan pemerintah pun berkontribusi terhadap hal tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semua afirmasi terhadap keyataan itu bukan untuk melahirkan pertanyaan salah siapa? Karena secara inheren sesuai sifat manusia, sesuatu yang baru pasti berakibat kepada yang lama. Lahirnya banyak destinasi baru berimplikasi terhadap detinasi yang lama. Kesibukan semua pihak dengan pembangunan sebuah kawasan yang baru selalu berdampak terhadap degradsi atau penurunan atensi terhadap kawasan yang lama. Itu variabel yang ada di Senggigi. Demikian pula dengan perkembangan investasi, maka semua pihak harus secara terbuka membedahnya secara mendalam. Investasi tidak akan mudah datang bila tidak diawali dengan “percaya” dan “kenyamanan”. Animo dan atensi hanya dapat dipertahankan bila selalu ada hal yang baru di Senggigi. Dan seterusnya sebagai konklusi atas fakta-fakta afirmatif tadi.
Namun, ruang dan waktu yang sedemikian panjang serta ukuran-ukuran harapan di masa depan harus dilokalisir secara lebih mikro untuk pemetaan jalan keluar. Maka suasana tiga tahun terakhir khusus untuk kalangan pelaku, penting menjadi langkah pijak untuk menetapkan jalan keluar jangka pendek, menengah, atau bahkan jangka panjang. Di tiga tahun terakhir ini serangkaian bencana membuat Senggigi semakin terpuruk. Recovery Bencana Alam Gempa Bumi tahun 2018 belum tuntas di tahun 2019, harus berlanjut lagi dirasakan oleh mereka di sepanjang tahun 2020 akibat pandemik global Covid 19.
Seluruh persoalan tersebut membawa hikmah tersendiri buat semua pihak, terutama di kalangan pelaku langsung yang menghirup nafas setiap hari di kawasan ini. Setelah berdiskusi lama dengan mereka, maka rasa “senasib sepenanggungan” yang disuarakan bersama namun secara tidak bersama (parsial) harus menjadi energi yang direspons oleh pemerintah. Sebagai “kuli” yang mewakili pemerintah, saya bersama para sahabat di Dinas Pariwisata harus segera meramu energi itu untuk menjadi suara dengan nada yang melahirkan keindahan harmoni berupa semangat dan kebersamaan.
Barangkali sangat sepele ketika jajaran Dinas Pariwisata harus mengambil sedikit fungsi penjaga kebersihan dan mengurus sampah. Barangkali kegiatan “Ayo Bersih-Bersih” Tempat Wisata yang menjadi agenda mingguan tidak mampu menjadi obat mujarab yang akan membuat sampah beton berpindah fungsi menjadi kemanfaatan. Namun kegiatan “unik” ini bermakna sederhana sesederhana cara pandang ketika gagasan ini dimulai. Dinas Pariwisata Lombok Barat hanya ingin ikut hadir sebagai jawaban atas perhatian pemerintah terhadap masalah sampah yang entah bagaimana cara mengatasinya. Dinas Pariwisata bukan Dinas Lingkungan Hidup yang harus mengalirkan gagasan implementatif tentang pola daur ulang atau 3R. Dinas Pariwisata hanya ikut urunan tenaga membantu para pahlawan sampah, baik dari NGO maupun Komunitas Peduli lainnya dari pada selalu menjadi sasaran kritik dan cemooh.
Selama berminggu-minggu “kegiatan tidak berarti ini” dilaksanakan tanpa ada maksud apa-apa kecuali biar sampah tidak menumpuk. Namun keberartian “kegiatan tidak berarti ini” justru menjadi simpul efektif dari kebersamaan dan rasa senasib sepenangungan seluruh komponen yang ikut bergotong royong. Seiring dengan pemberlakukan protokol kesehatan yang selalu menjadi rujukan dan harus tetap disupervisi, kumpul-kumpul dengan para pelaku ini melahirkan solidaritas, sekaligus menjadi rahim banyak gagasan yang justru sangat produktif di era pandemik dan kegalauan quo vadis Senggigi.
Luar biasa. Tanpa diduga, gagasan “Ayo Kembali Ke Senggigi” lahir tidak hanya dari satu dua orang, namun lahir dari ratusan wajah para pelaku yang bergotong royong setiap minggu itu. Ada yang berani dengan penuh retorik menyampaikannya. Ada yang bermain-main dengan menuturkan cerita keindahan masa lalu Senggigi. Ada yang dengan galau lalu menghentak banyak pihak dengan ungkapan-ungkapan penuh semangat. Ada yang diam, namun memperlihatkan senyum wajah yang tidak lagi lepas. Dan seterusnya. Gagasan itu pun dibincangkan, kadang sambil minum kopi santai seolah ini bukan masalah berat.
Dari banyak perbincangan, entah dengan nuansa santai dan bahkan lebih banyak beratnya, lahirlah tagar #AyoKembaliKeSenggigi. Tagar ini menjadi simpul umum bahwa semua pihak, entah dia pengusaha, entah dia pelaku pramuwisata, entah itu dari pedagang, semua ingin Senggigi kembali seperti dulu.
Selaku “kuli”, saya bersama para sahabat di Dinas dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, terutama Bupati dan seluruh jajaran pimpinan, harus menyambut simpul itu untuk menyuarakannya menjadi ajakan. Ajakan untuk semua wisatawan (orang yang suka berwisata) kembali berkunjung ke Senggigi. Senggigi masih indah untuk menjadi dunia sunset. Senggigi pun masih indah dengan gemerlap lampu dan musik tempat hiburan. Senggigi masih nyaman dengan banyak hotel kelas bintang, restauran dengan aneka kuliner, dan kawasan yang sudah mulai bersih.
Namun naif ajakan sebatas ajakan. Ajakan harus diidekan, dirumuskan, dan direncanakan melalui aksi atraksi yang lebih nyata, bukan slogan kosong dengan balon yang diterbangkan lalu terbang entah kemana. Senggigi tidak hanya dirumuskan, namun dikerjakan. Modal utamanya adalah kebersamaan yang menjadi energi yang saling menguatkan semua pihak.
Setelah berkutat dalam “laboratorium” bernama gotong royong angkut sampah, tindakan atraktif harus segera dirumuskan. Secara infrastruktur, Senggigi sudah siap berbenah. Aneka proyek, baik dari Dinas PUTR maupun Dinas Pariwisata, mulai dikerjakan bulan-bulan ini. Persoalan jalan dan penataan gardu pandang serta pedestrian sudah akan mulai diimplementasikan. Persoalan klasik Penerangan Jalan Umum (PJU) di beberapa titik inti menjadi prioritas. Namun, rencana revitalisasi Senggigi masih terhambat ketiadaan lahan milik pemerintah. Sedangkan para investor yang selalu menjanjikan pembangunan namun tidak kunjung bergerak, sama sekali tidak mengapresiasi niat baik penataan Senggigi.
Sembari membangun revitalisasi secara fisik itu, pasca Senggigi Sunset Zumba tanggal 13 September yang menjadi launching hastag #AyoKembaliKeSenggigi, kolaborasi antara pelaku usaha dan Dinas Pariwisata pun melahirkan berbagai atraksi. Di tanggal 19-20 September, masyarakat Batulayar menyelenggarakan Enduro Motor Hill Climbing. Atraksi ini menjanjikan karena dihadiri oleh para crosser lokal ternama. Para crosser ini akan mempertontonkan kepiawaian mereka mengendarai motor trail untuk menjajaki race bukit sepanjang kurang lebih 25 meter yang memiliki kemiringan curam sampai lebih dari 40 derajat.
Bertepatan dengan usainya Enduro, gelaran musik digelar melalui streaming atau digital dengan tajuk "Senggigi Sound Sensation" (SSS). Berpusat secara live dari New Surya Pub and Karaoke, The Nada Band dan DJ Dede Green akan memainkan musik live all genre sebagai pembuka gelaran musik mingguan di Senggigi. Apapun kata dan pandangan orang, potensi musik dari tempat-tempat hiburan di Senggigi adalah salah satu daya tarik yang tidak boleh diabaikan. Sebagai potensi, tempat hiburan dan musik tidak bisa diabaikan atau ditinggalkan serta tetap disematkan dalam stereotipe yang relatif miring. Saya memilih menjadikannya sebagai khazanah kaya keindahan Senggigi. SSS ini adalah musik terbalut senja atau senja terhiaskan musik. Dua dua ini adalah harmoni dan keindahan. Oleh karena situasi pandemik, maka pendekatan baru harus diformulasikan untuk mengawinkan keindahan musik dan semburat senja Senggigi. Untuk itu, digitalisasi musik menjadi pilihan.
Dari New Surya Pub and Karaoke yang secara live memainkan musik dan ditonton langsung oleh penonton yang sangat terbatas, senandung all genre The Nada Band akan direlay secara streaming kepada seluruh kafe, restaurant, hotel, toko retail modern, bahkan pusat kuliner di Tanjung Bias. Pada jam yang sama di hari Ahad, 20 September 2020 mulai pukul 16.00 sampai dengan 18.00 saat sunset mulai menuju ufuk, suara musik di seluruh kawasan Senggigi akan sama. Musik yang sama, senja yang sama, adalah dua energi yang menjadi simpul seluruh semangat pelaku dan pengunjung di Senggigi
Jika tidak ada hambatan berarti, gelaran SSS menjadi event Mingguan di Senggigi. Setiap Minggu mulai pukul 16.00-18.00 WITA, suara di Senggigi akan sama. Semua pelaku cukup merelay siaran langsung melalui akun YouTube atau Facebook Dinas Pariwisata Lombok Barat dan mengkoneksikannya ke soundsystem atau pengeras suara standar untuk musik. Semua pelaku dan unit usaha melakukan hal yang sama. Energi dan semangat musik yang sama menjadi simbol solidaritas, soliditas, dan optimisme yang seragam tentang kehidupan meriah di Senggigi. Untuk 4 gelaran SSS, dimulai dari New Surya, Minggu berikutnya langsung dari Kafe Metropolis. Minggu ketiga akan live dari Kafe Paragon dan Minggu keempat di Bassilico Hotel Kila Senggigi.
Musik hanya satu alternatif pilihan. Selain dari pantai, jalan, restaurant, dan kafe, musik berhias sunset juga bisa dinikmati di hotel-hotel berkelas di Senggigi. Entah sembari menikmati gemercik air kolam renang atau secangkir kopi di loby hotel-hotel yang terbuka dikunjungi oleh siapapun. Inilah kreasi warga Senggigi yang sungguh tidak terlalu baru. Musik dan hiburan adalah tradisi ritual hiburan di kawasan ini. Warga Senggigi dan Dinas Pariwisata hanya memformulasikannya dengan kenormalan baru di era pandemik ini. Saya secara pribadi merasa terharu, kreativitas ini adalah kongkritisasi langsung dari makna kebersamaan.
#AyoKembaliKeSenggigi adalah ajakan kongkrit yang memaksa semua stakeholders untuk bertanggungjawab terhadap pembaharuan gagasan. Menurut saya, kita berada pada industri kreatif di mana ide dan gagasan harus selalu baru dan segar. Saya optimis, dengan modal utama kebersamaan dan saling peduli satu dengan lainnya di kalangan para pelaku industri, pramuwisata, dan pemerintah, serta ide kreatif yang selalu baru dan sebisanya menjadi trendsetter, maka hastag ini bisa menjadi kenyataan. Hastag ini tidak lagi menjadi ajakan namun keadaan yang nyata. #AyoKembeliKeSenggigi menjadi #senggigitelahkembali. (gl 02).