Ketua KTNA NTB, Drs H Haerul Warisin MSi, Senin 17 Januari 2022 di Mataram. |
MATARAM , - Keterbatasan suplay pupuk bersubsidi dan mahalnya harga pupuk non subsidi di tingkat petani, menjadi perhatian serius jajaran Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi NTB.
KTNA NTB menyurati Presiden Joko Widodo dan mengusulkan beberapa opsi ke pemerintah pusat untuk mengatasi masalah pupuk yang dari tahun ke tahun seolah tak kunjung tuntas.
"Sebagai keseriusan kami, KTNA NTB resmi bersurat ke Presiden Jokowi hari ini," kata Ketua KTNA NTB, Drs H Haerul Warisin MSi, Senin 17 Januari 2022 di Mataram.
Haerul mengatakan, KTNA NTB sangat mengapresiasi perhatian Presiden Jokowi dan pemerintah pusat atas berbagai event berskala nasional dan internasional yang dipercayakan dilaksanakan di NTB ini.
Apalagi beragam event tersebut sudah mampu kembali menggeraakan sektor kepariwisataan NTB yang sempat terpuruk, terdampak pandemi Covid-19.
Namun, KTNA NTB berharap agar sektor pertanian juga menjadi perhatian. Karena dua sektor ini menjadi unggulan di NTB. Terlebih daerah NTB menjadi salah satu daerah penyangga pangan nasional.
Melalui surat yang ditandatangani Haerul Warisin dan Sekretaris KTNA NTB Ir HM Jumahir, KTNA NTB menyampaikan bahwa kondisi perekonomian petani NTB masih tergolong menengah ke bawah yang ditandai dengan sempitnya areal yang dimiliki.
Wilayah NTB tidak mempunyai area luas yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan negara atau swasta, baik di bidang pertaian maupun perkebunan.
"Kita juga sampaikan bahwa ada problem pengadaan pupuk di tingkat petani yang masih menjadi persoalan dari tahun ke tahun dan terkesan tak kunjung tuntas," kata Haerul yang juga anggota DPRD NTB ini.
Haerul memaparkan, untuk pupuk bersubsidi berdasarkan rekomendasi Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan RI, NTB membutuhkan pupuk Urea setiap musim tanam sebanyak rata-rata 225Kg/Hektare. Sementara yang bisa diperoleh petani hanya berkisar 100Kg - 115Kg/hektare setiap musim tanam.
"Oleh karena itu KTNA NTB menyampaikan harapan petani ke Presiden Jokowi agar kiranya alokasi pupuk subsidi untuk NTB bisa ditingkatkan sesuai dengan rekomendasi Balitbang Pertanian," katanya.
Menurutnya, selama ini untuk menutupi kekurangan pupuk subsidi, para petani harus menggunakan pupuk non subsidi, agar produktivitas mereka tetap terjaga.
Hanya saja, pupuk non subsidi yang beredar di tingkat petani saat ini harganya masih sangat tinggi berkisar Rp12.500/Kg - Rp13.500/Kg. Ini terjadi karena harga berlaku untuk pupuk non subsidi saat ini masih mengacu pada harga ekspor luar negeri.
Haerul mengatakan, untuk meringankan beban petani, KTNA NTB mengusulkan agar pemerintah memberlakukan pola pupuk non subsidi dalam negeri.
"Kita usulkan agar Presiden Jokowi memberlakukan harga pupuk non subsidi dalam negeri, agar para petani tidak terlalu merasa berat dengan harga ekspor saat ini," katanya.
Ia menambahkan, harga yang diusulkan untuk pupuk non subsidi dalam negeri sebanding dengan harga gabah kering panen (GKP) sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI No 24 Tahun 2020 yakni sebesar Rp4.250/Kg.
"KTNA NTB juga mengusulkan agar harga pupuk lainnya seperti SP36, ZA, NPK dan pupuk organik agar dapaaaat diatur dan disesuaikan dengan rekomendasi Balitbang Kementan RI," ujarnya.
Ia menjelaskan, Surat KTNA NTB untuk Presiden Jokowi juga ditembuskan kepada Menteri BUMN, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Pengurus KTNS Nasional di Jakarta.
Haerul berharap, dengan bersurat ke Presiden Jokowi maka masalah pupuk yang dirasakan petani di NTB selama ini bisa menemukan solusi yang tepat dan berkelanjutan dari pemerintah pusat.
Apalagi, papar Haerul, Indonesia adalah negara penghasil amoniak terbesar di dunia. Artinya Indonesia adalah negara terbesar di dunia yang memproduksi pupuk Urea.
"Sehingga, apa salahnya kalau pemerintah Indonesia membantu petani Indonesia untuk diberikan penurunan harga seperti yang diusulkan KTNA. InsyaAllah, kami optimitis Presiden Jokowi pasti peduli dan mempertimbangkan solusi untuk masalah ini," katanya. (gl 02)