Kuasa Hukum Zainal Abidin, Dr. Umaiyah SH., MH |
MATARAM, - Kuasa Hukum mantan Kepala Dinas ESDM NTB, Zainal Abidin meyakini kliennya menang dalam sidang gugatan Praperadilan terkait penetapan status tersangka kasus dugaan korupsi tambang pasir besi pada Blok Dedalpak, Kabupaten Lombok Timur.
Kuasa Hukum Zainal Abidin, Dr. Umaiyah SH., MH., menyatakan keyakinannya menang dalam Praperadlian ini.
"Kami optimis menang. Banyak sidang-sidang Praperadilan di Indonesia yang kami jadikan sebagai dalil, termasuk kita siapkan saksi dan bukti-bukti kuat," kata Umaiyah kepada media usai sidang atas jawaban termohon kepada pemohon di Pengadilan Negeri Mataram, Kamis (04/05/2023).
Adapun dalam sidang tersebut, pihak pemohon tetap pada permohonan yang diajukan yakni menolak dalil-dalil yang diajukan oleh termohon, baik dalam eksepsi maupun jawaban termohon.
Dimana dalam eksepsi sebelumnya kata Umaiyah, bahwa pada poin 1 termohon menyatakan pemohon salah Subjek (error in subjecto). Kemudian dalam permohonan pemohon
halaman 2 disebutkan pemohon hendak mengajukan Prapradilan terhadap
Kejaksaan Agung RI, Cq Kejaksaan Tinggi NTB, merupakan institusi atau
lembaga yang merupakan benda mati, tidak bisa melakukan sesuatu
perbuatan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek dalam Prapradilan
adalah pernyataan yang sangat keliru. Sebab kata Umaiyah, lembaga atau institusi Kejaksaan Agung RI dan Kejakasaan Tinggi NTB adalah sebuah lembaga. Dimana Kepala Kejaksaan Tinggi NTB yang melaksanakan kegiatan dalam proses perbuatan hukum, karena Kejaksaan Tinggi NTB adalah lembaga yang bergerak di bidang hukum. Sehingga dapat dijadikan subjek dalam Praperadilan dan dalam hal ini ada yurisprodensi akan
dijadilkan bukti dalam perkara Praperadilan ini yaitu putusan
Praperadilan Nomor/ Pid.Pra /2017 PN. Sbw, tanggal 14 Agustus
2017.
Kemudian dalam eksepsinya pada poin 2 penetapan tersangka pemohon error
in persona, atau salah orang bahwa terkait dengan jawaban termohon yang
mengatakan baik pihak yang menginisiasi, menandatangani, dan menggunakan termasuk pula yang memfasilitasi harus bertanggungjawab dalam hal ini termohon sangat keliru.
"Lagian tujuan surat yang ditandatangani itu adalah surat keterangan, yang
seharusnya tujuan Kepada Direktur Jendral Mineral dan Batubara Kementerian ESDM RI, perihal surat keterangan dalam tahap
proses evaluasi dokumen RKAB. Jadi bukan untuk pengawalan, tetapi Kabid Minerba menggunakan untuk kepentingan lain yaitu diserahkan Kepada PT. Anugrah Mitra Graha, untuk menjadi dasar
penambangan dan pengapalan. Kalau kita lihat tujuan surat adalah surat keterangan, dengan tujuan yang baik tetapi digunakan oleh orang lain untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum, mana mungkin
dapat diminta pertanggung jawaban pidana kepada yang tanda tangan," papar Umaiyah.
Selanjutnya bagi Umaiyah, eksepsinya pada poin 3 penetapan pemohon sebagai tersangka merupakan tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan asas
kepastian hukum, serta termohon tidak berwenang sebagai penyidik dan
menetapkan tersangka dalam kegiatan usaha pertambangan.
"Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang
hak dan kekuasaan untuk bertindak melebihi apa yang sepatutnya dilakukan, sehingga tindakan dimaksud bertentangan
dengan Perundang-undangan, sesuai ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," jelas pria asal Sumbawa itu.
Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan
tentang syarat sahnya sebuah Keputusan. Di sana dijelaskan bahwa termohon tidak berwenang sebagai penyidik karena bahwa selain prosedur penyidikan tidak benar untuk menetapkan pemohon sebagai
tersangka oleh penyidik Kejaksaan Tinggi NTB.
"Penyidik Kejati NTB juga tidak berwenang
menyidik, menurut ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan
Batubara Tentang Penegak Hukum. Pada Pasal 80 yang berbunyi: Penegak
Hukum dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Ini dilaksanakan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan," tegasnya lagi.
Di satu sisi, pihak kuasa hukum juga meminta agar Majelis Hakim yang mulia untuk menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya, menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima dalam pokok permohonan, menyatakan diterima permohonan pemohon Praperadilan untuk
seluruhnya, menyatakan tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai
tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh
karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Selanjutnya, pihak kuasa hukum menyatakan penetapan tersangka belum cukup bukti, menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh termohon, memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan
terhadap perintah penyidikan kepada pemohon, menyatakan termohon tidak berwenang melakukan penyidikan perkara terhadap pemohon, memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan terakhir menghukum termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Sedangkan Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputra menjelaskan bahwa pihaknya juga sudah tegaskan Undang-Undang Pemerintahan. Namun jika ingin dipersoalkan, harusnya diselesaikan secara Peradilan Tata Usaha Negara, bukan Praperadilan.
"Kami sudah jelaskan dan penyidik Kejati NTB tidak menetapkan pemohon sebagai tersangka secara tanpa dasar hukum, tanpa bukti maupun sewenang-wenang. Nanti tunggu saja, kami siapkan saksi-saksi dan bukti," tandasnya. (CrN)